Kasus perundungan atau bullying yang terjadi di beberapa sekolah di Indonesia disebut "sudah mengkhawatirkan lantaran sampai mengakibatkan kematian," menurut Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti.
Sebab meskipun sudah ada Permendikbud 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan, tapi banyak sekolah belum memiliki sistem pengaduan dan pelaporan yang melindungi korban perundungan.
Seperti yang baru-baru ini terjadi pada seorang siswa SMP di Temanggung, Jawa Tengah, nekat membakar sekolahnya sendiri karena sakit hati sering dirundung kawan-kawannya.
Atas perbuatannya itu, siswa tersebut berstatus anak yang berhadapan dengan hukum meski belakangan dilakukan restorative justice, kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, mengatakan sepanjang Januari hingga Mei 2023 pihaknya menemukan setidaknya ada 12 kasus tindak perundungan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Dari belasan kasus itu, sebanyak empat kasus terjadi di tingkat Sekolah Dasar (SD), lima kasus di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sisanya di jenjang Sekolah Menengah Atas/Kejuruan.
Menurut Retno, bullying atau perundungan yang terjadi saat ini kondisinya sudah mengkhawatirkan dan berat karena sudah mengakibatkan kematian.
"Dan perundungan ini sudah mulai dari jenjang SD. Kalau begitu dia kan punya potensi jadi pelaku sampai SMA. Orang yang berkali-kali melakukan kekerasan akan terus pengen melakukan," ujar Retno Listyarti kepada BBC News Indonesia, hari Minggu, 02/07/2023
Beberapa kasus perundungan yang sampai menimbulkan kematian terjadi di Medan, Sumatera Utara.
Siswa SD kelas 1 di Kota Medan, Ibrahim Hamdi, meninggal usai menjadi korban perundungan lima kakak kelasnya.
Kepada ibunya, anak tersebut mengadu telah dipukuli kakak kelasnya.
Yusraini bercerita ia membawa anaknya ke rumah sakit karena tubuh anaknya kesakitan dan mengalami demam tinggi. Namun tak disangka nyawa anaknya tak terselamatkan.
Kasus serupa juga terjadi di Sulawesi Utara.
Seorang siswa MTs di Kotamobagu berinisial BT meninggal akibat dikeroyok oleh sembilan temannya. Korban disebut mengalami kekerasan fisik berupa dibanting dan ditendang berkali-kali di bagian perut.
Akibat rasa sakit yang tak tertahankan, korban dilarikan ke rumah sakit. Tapi keesokannya korban meninggal.
Dalam kasus siswa SMP di Temanggung, Jawa Tengah, yang membakar sekolahnya sendiri karena mengaku sakit hati kerap dirundung teman-temannya, Retno menilai pihak sekolah tidak memahami kondisi psikologi siswanya itu.
"Artinya memang kita tidak punya kemampuan membaca [psikologi] anak-anak. Karena tanda anak stres itu ada rasa tidak nyaman di perut atau mual. Ini kan tidak dipahami pihak sekolah," ujar Retno.
Kejadian pembakaran sekolah di Temanggung itu berlangsung pada Selasa (27/06).
Siswa kelas VII berinisial R tersebut disebut telah menyiapkan bahan yang digunakan untuk membakar sekolahnya sejak sepekan sebelum kejadian.
Dia membuat benda menyerupai molotov dari botol bekas yang diisi cairan khusus yang dicampur dengan gas sebagai pemicu api.
R diketahui meletakkan botol itu di halaman sekolah.
Kapolres Temanggung, Agus Puryadi, menyebut alasan R membakar sekolahnya karena sakit hati lantaran sering dikeroyok oleh teman-temannya dan diejek menggunakan nama orangtuanya.
Selain itu dia juga merasa tidak dihargai oleh gurunya.
Akan tetapi Kepala SMP Negeri 2 Pringsurat, Bejo Pranoto, menyebut kepribadian R kerap mencari perhatian guru. Tanpa menerangkan tindakan perundungan yang dialami R.
"Saat melakukan kesalahan dan dipanggil oleh guru, dia sering kali berpura-pura muntah atau bahkan kesurupan," kata Bejo seperti dilansir Kompas.com.
Mengapa perundungan terus terjadi?
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menjelaskan ada tiga persoalan mengapa perundungan sulit diatasi.
Pertama, dilatari oleh anggapan kalangan anak muda bahwa tindakan perundungan sebagai sesuatu yang "keren" sehingga "menginspirasi orang lain" bahkan dijadikan contoh.
"Bullying tidak dianggap sesuatu yang tabu, tapi jadi tren dan terjadi di mana-mana," imbuhnya.
Kedua, tidak adanya sistem pengaduan dan perlindungan bagi korban perundungan di sekolah. Bahkan kendati terjadi di banyak tempat tindakan tersebut tidak disikapi dengan serius oleh pihak berwenang.
Ketiga, karena cara pandang guru yang masih menganggap perundungan bukan tindak kekerasan dan persoalan penting.
Ubaid berkata meskipun sudah ada Permendikbud 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan, tapi banyak sekolah belum memiliki sistem pengaduan dan pelaporan yang melindungi korban perundungan.
"Karena pemerintah pusat atau Kemendikbud tidak punya semacam kewenangan penuh untuk mendisiplinkan sekolah-sekolah yang berada di bawah kewenangan dinas pendidikan," terangnya.
"Sehingga Permendikbud ini seakan-akan seperti imbauan yang boleh dilaksanakan atau tidak," sambung Ubaid.
Akibat ketiadaan aturan anti-perundungan di satuan pendidikan, kata dia, kasus-kasus perundungan dianggap sebagai "letupan-letupan kecil dan kasuistik".
Sementara Ubaid meyakini, tindakan perundungan pasti ada di setiap sekolah namun tak dilaporkan.
Itu mengapa JPPI mendesak Kemendikbud untuk menjadikan persoalan perundungan di sekolah sebagai "prioritas" yang harus dicarikan jalan keluarnya.
"Menghilangkan perundungan di sekolah penting untuk kunci pembelajaran yang sukses. Bagaimana mau berhasil pembelajaran kalau sekolah dianggap menakutkan?"
Untuk kasus yang pembakaran sekolah di Temanggung, Jawa Tengah, Ubaid meminta sekolah untuk mengungkap para pelaku yang merundung R agar menjadi pembelajaran di masa mendatang.
"Semua yang terlibat yang membully harus dibuka juga oleh sekolah. Jangan sekolah justru melakukan judgement kepada R yang menyebutnya caper atau cari perhatian."
"Punya pengaduan umum, tapi tak ada sanksi"
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, membenarkan pernyataan JPPI soal banyaknya sekolah dari jenjang SD hingga Menengah Atas yang belum menjalankan Permendikbud 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Sepanjang pengamatannya, sekolah-sekolah tidak tahu adanya aturan tersebut dan sosialisasi dari Kemendikbud disebutnya tidak terlalu kencang.
"Saya tidak pernah menemukan sekolah menerapkan Permendikbud itu," jelas Retno.
Kalau Permendikbud itu dijalankan, menurut Retno, maka tiap-tiap satuan pendidikan harus menyusun mekanisme pengaduan atau pelaporannya dan membentuk satuan tugas (satgas) yang terdiri dari perwakilan guru, wali murid, dan siswa.
Pengaduannya pun tidak harus dilakukan dengan tatap muka, tapi bisa lewat online demi menghindari pantauan pelaku perundungan.
"Dengan adanya kanal pengaduan anak-anak korban perundungan yang selama ini diam bisa mengadu."
"Satgas ini pun akan dibiayai oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kalau tidak dibiayai bagaimana mau mencari informasi, data, kunjungan?"
Tapi lebih dari itu, Retno menilai, para pendidik yakni guru juga harus belajar tentang bagaimana menangani pengaduan siswanya dengan serius. Sebab masih ada guru yang menyelepekan perundungan.
"Banyak guru itu ya mereka selalu ngomong, 'Kami dulu sering dipukul guru, anak sekarang begitu aja cengeng...'"
Seperti apa tanggapan pemerintah?
Menteri Pendidikan dan Budaya (Mendikbud), Nadiem Makarim, mengatakan setidaknya ada 24,4% peserta duduk berpotensi menjadi korban perundungan di lingkungan sekolah, merujuk pada hasil survei karakter yang dilakukan Kemendikbud pada tahun lalu.
Survei itu melibatkan 260.000 sekolah di Indonesia di tingkat SD/Madrasah hingga SMA/SMK. Ada pula 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru yang dilibatkan.
Direktur Sekolah Dasar (SD) Kemendikbud, Muhammad Hasbi, sebelumnya menyebut bahwa pihaknya sedang menyempurnakan Permendikbud nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan.
Di aturan anyar itu, Kemendikbud disebut akan mengintensifkan berbagai kebijakan pencegahan.
Selain itu di peraturan tersebut, satuan pendidikan bakal "dipaksa" untuk membentuk satuan tugas (satgas) pengaduan paling lambat enam bulan setelah terbitnya beleid.
Adapun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebut kasus perundungan yang terjadi di Temanggung sebagai keprihatinan bersama.
Kementerian, kata Juru bicaranya Margaret Robin Korwa, akan berkoordinasi dengan dinas PPPA setempat untuk memastikan pendampingan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sembari mengingatkan kepolisian untuk berpegang pada UU peradilan anak.
"Perlunya sosialisasi dan komunikasi di lingkungan pendidikan bahwa harus sadar bahwa tindak kekerasan adalah suatu hal yang sangat serius dan harus ditangani dengan mengedepankan perspektif anak sebagai korban," ujar Juru bicara KPPA, Margaret Robin Korwa kepada BBC News Indonesia.
"Penanganannya juga harus tuntas agar tidak menjadi pelaku atau korban kembali karena dampak kekerasan secara psikis, anak yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami masalah kejiwaan seperti gangguan stres pasca trauma, depresi, cemas, dan psikotik."
No comments:
Post a Comment